Vitamins Blog

Cut! #3

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

# 3

Sesi Curhat (Bag. I)

***

08.30 PM.

Tok Tok Tok Tok!!! Yoo Jin menggedor pintu di depannya dengan kejam. Ingin rasanya ia mendobrak pintu itu, agar orang yang sedang asyik sendiri di dalam kamar itu sadar, jika keponakannya masih sempat memperhatikan pola hidup bibinya yang amat kacau.

“Bibi! Sampai kapan kau di dalam?! Sudah hampir sehari, tapi bibi masih belum turun juga untuk makan!”

“Haiz, ribut sekali anak itu,” gerutu Seo Jin, tengah sibuk bermain game di komputernya. Asal tahu saja, Seo Jin bermain game bukanlah sekedar membuang waktunya secara sia-sia. Melainkan, ia bermain game simulator kehidupan, berniat menciptakan adegan dramatis untuk proyek drama selanjutnya.

Adegan dramatis yang dimainkannya dalam game kali ini menceritakan tentang kehidupan seorang pria playboy, yang sungguh banyak melakukan hubungan terlarang, bahkan dengan istri orang lain-pun dimakannya. Hingga suatu hari, dokter menyatakan pria playboy tersebut menderita kanker stadium akhir. Dengan akhir yang menyedihkan, sang pria akhirnya menemukan cinta sejatinya, namun ia hanya bisa melihat cintanya itu dari jarak yang sangat sulit dijangkau oleh seorang manusia.

“Menyedihkan sekali,” kata Seo Jin tersedu-sedu, tidak dapat menyembunyikan emosinya. Setetes air mata kebahagiaan berlinang dari sudut matanya, membasahi pipi Seo Jin yang belum dicuci sejak bangun pagi. “Kenapa imajinasiku begitu luar biasa?”

Tok Tok Tok Tok!!! “Ya! Bibi! Sampai kapan kau akan hidup seperti begini? Bisa-bisa bibi perawan seumur hidup loh!” Yoo Jin belum menyerah memaksa wanita 32 tahun itu, buat keluar dari oasisnya. Jika-pun bibinya tetap tidak keluar, maka sisa satu jurus jitu terakhir yang memiliki presentase 80%, yang ampuh membuat bibinya keluar tanpa berpikir panjang.

“Diam kau, bocah! Urus dirimu dan Seo Jun sana, sebelum dia direbut oleh wanita yang lebih normal darimu!” Yang benar saja, bibi tetap bertahan dan membalas telak Yoo Jin, sampai leher Yoo Jin tercekat, susah untuk menelan salivanya.

“Sudah kukatakan, kan? Kalau Seo Jun itu sahabatku!”

Sahabat? Benarkah? Wanita dan pria mana ada yang sahabatan. Batin Seo Jin meremehkan.

Yoo Jin menghela napas. Ia sudah tidak sabar lagi, dan sekarang waktu baginya untuk mengeluarkan jurus terakhir, yang digadang-gadang mampu membuat bibinya keluar bak orang stress yang sedang dikejar anjing gila.

“Bibi… ” Yoo Jin sengaja memperlambat ucapannya. “Kalau tidak keluar… akan kumakan… semua es-mu yang ada di kulkas!”

Apa?! Brak! Seketika Seo Jin bangkit berdiri, dan menutup laptopnya dengan sadis. Ia baru ingat, es yang ia beli kemarin, masih terpajang cantik di dalam kulkas.

Es-ku! Mata Seo Jin melebar, lalu berlari ke pintu bak orang gila, persis seperti yang dibayangkan Yoo Jin.

“Kau mau mati?” kecam Seo Jin, saat membuka pintu, bertatapan langsung dengan keponakannya.

**

Ho Rang berjalan pulang dengan lesu. Setelah masuk ke dalam rumah, ia melempar tasnya ke sofa.

“Aku telah melakukan kesalahan besar,” gumamnya lemah sembari berjalan menuju dapur.

Dibukanya kulkas, dan mengeluarkan sebuah botol wine yang masih tersegel. Di botol tersebut tercantum tahun pembuatannya, 1994. Semakin lama wine disimpan, maka kualitasnya akan semakin meningkat.

“23 tahun, wine ini pasti nikmat rasanya,” ucap Ho Rang, yang tidak pernah merasa tidak tega saat membuka botol wine setua apapun umur minuman mewah itu. Wine yang diberikan orang tuanya, sebagai hadiah ulang tahun ke-24 tahun ini, diteguknya langsung dari bibir botol hingga ia merasa puas.

Ho Rang tidak menyangka dua hari yang lalu ia telah memukul sumber musibah, yang kini tengah merancang sebuah permainan untuk mempermainkannya di babak kedua kehidupan.

Setelah kejadian menyesakkan yang pernah terjadi di masa lampau, akibatnya membuat Ho Rang tidak dapat tumbuh sebagai remaja pada umumnya. Kemudian, ditambah yang sekarang… sebentar lagi, ia mungkin tidak akan bisa menikmati masa dewasa yang menggairahkan.

“Pria bejat!” umpat Ho Rang kesal.

“Pria bejat? Maksudmu si Lee Joon?” tanya Seo Jin yang muncul mendadak di sebelah Ho Rang bagaikan hantu, dengan tangannya yang menjulur untuk membuka pintu kulkas pada bagian freezer, dan mengeluarkan sekotak besar es krim.

Ho Rang mengangguk berkali-kali, lalu meneguk wine-nya lagi. Melihat Ho Rang meneguk wine tanpa penghayatan, tangan Seo Jin menahan gerakan Ho Rang.

“Sayang sekali wine mahal itu, kau minum dengan cara murahan begitu. Berhentilah minum, dan gabunglah denganku makan es,” ajak Seo Jin, yang tumben mengajak orang lain ikut makan es bersamanya. Biasanya Seo Jin tidak membiarkan siapapun dapat menyentuh es-nya, walau hanya sekali sendok.

“Sekalian kita bahas masalahmu, bagaimana?” ajak Seo Jin sambil merangkul bahu Ho Rang, dan diam-diam ternyata ia memiliki maksud terselubung. Ok, aku siap mendengar ide adegan drama yang baru.

Yoo Jin yang juga menyusul masuk ke dapur, mendapati bibinya dan Ho Rang tengah menikmati es bersama. “Ya, bibi! Kau mengajaknya makan es, sedangkan keponakanmu kau telantarkan?!”

“Khusus hari ini, aku mengajak Ho Rang.”

“Bagaimana denganku?” tanya Yoo Jin dengan wajah memelas.

“Kau? Siapa?”

“Jahat! Bibi jahat!” bentak Yoo Jin, kemudian merengek memohon pada bibinya. “Aku juga mau es krim bibi. Bibi, kumohon…”

Tidak tahan mendengar rengekan Yoo Jin yang semakin menjadi-jadi, dengan terpaksa Seo Jin menyetujui permintaan keponakannya. “Hanya tiga sendok.”

“Bagus! Tiga sendok super besar!” seru Yoo Jin secara sepihak menambah ucapan Seo Jin, lalu berlari keluar dari ruang makan

“Ya! Katanya mau makan es!” teriak Seo Jin, kemudian ia teringat masih ada seorang lagi di rumah ini. Yoo Jin, ia pasti akan memanggil satu orang itu untuk ikut menghabiskan es miliknya.

“Yoo Jinnn! Jangan berani kau…” Belum sempat menyelesaikan teriakannya untuk melarang, Yoo Jin sudah terlebih dahulu meneriakan namanya Hye Ri.

Ranjau bersembunyi,
Musibah tidak terduga.
Sebab yang ditanam,
Akibat siap dituai.

“HYE RIIIIIII! TURUN!” panggil Yoo Jin menggelegar, terdengar sampai di kamar Hye Ri.

Hye Ri yang sedang menulis indah kalimat puitisnya, dengan setiap goresan penuh kehati-hatian di atas kertas, tiba-tiba melenceng ke arah yang salah setelah mendengar teriakan melengking ala Yoo Jin.

Ya ampun! Kelopak mata Hye Ri melebar, saat melihat kekacauan yang terjadi di atas kertasnya.

Kenapa sih pakai berteriak segala? Gerutu Hye Ri dalam hati. Nyatanya, Hye Ri juga seorang manusia biasa, yang juga bisa merasa kesal. “Ada apa?”

“Bibi mengajak makan es krim!”

Anak satu ini! Erang Seo Jin dalam hati. Tamatlah sudah riwayat es krimnya malam ini.

**

Pukul 12.00 siang. Waktunya bagi staf kantoran untuk beristirahat.

“Seo Jun, ayok makan siang bersama,” ajak Yoo Jin sambil merentangkan tangannya, dan melemaskan otot-ototnya yang kaku.

“Tidak bisa,” jawab Seo Jun singkat tanpa menoleh ke Yoo Jin, sedangkan seluruh jiwa dan raga pria itu tertuju pada ponselnya.

Seo Jun tengah sibuk mengetik di layar ponselnya, hingga tidak menyadari Yoo Jin menatap sinis ke arahnya. Meja kerja mereka saling bersebelahan, jadi memudahkan Yoo Jin untuk berjalan mendekat ke arah belakang pria itu, dan mengintip apa yang sedang dilakukan sahabatnya.

[Chat ★pp!

My Honey : Siang ini, kita makan bersama?
Me : Tentu. Kita ketemuan di kafe.
My Honey : ILY♡
Me : ILYT. ]

Yoo Jin mengintip sepenggal isi percakapan Seo Jun, berhasil membuat perutnya keram.

Maduku? ILY? ILYT?! Yoo Jin menatap serius belakang kepala Seo Jun. Ia tidak bisa membayangkan, apa yang baru saja ia lihat di tepat depan matanya. Sejak kapan sahabatnya berubah se-manis itu? Rasanya begitu menggelikan.

“Wah!” seru Yoo Jin mengageti Seo Jun. “Sibuk sekali pacarannya.”

“Ya! Kau membaca isi percakapanku?!” tanya Seo Jun dengan tampang serius.

“Kau marah?” Yoo Jin bertanya balik pada pria itu, membuat Seo Jun mendengus.

“Kau mengerti arti privasi, kan?”

“Privasi?” Yoo Jin mengulang kata itu, dan wajahnya berusaha menahan tawa. “Seo Jun-ssi, di antara kita itu, yang namanya minim privasi sudah seperti pola hidup. Aku bahkan tahu dimana kau menyembunyikan buku po…”

Sebelum Yoo Jin membongkar segalanya, dan didengar oleh rekan kerja lainnya, dengan secepat kilat Seo Jun membekap mulut Yoo Jin dengan telapak tangannya.

“Kau mau mati, hah?” ancam Seo Jun, kemudian melonggarkan telapak tangannya, sebelum ia benar-benar tidak sengaja membunuh sahabatnya.

“Belikan aku makan siang, maka semua rahasiamu akan kukunci rapat-rapat. Setuju?”

“Ok, setuju,” tanggap Seo Jun singkat dan langsung mengiyakan tanpa protes, kemudian ia mengambil dompetnya. Pria itu mengeluarkan selembar Won bernilai besar, dan memberikannya ke Yoo Jin.

“Ini, belilah yang kau suka di kantin.”

Uang Seo Jun selamat mendarat ke tangan Yoo Jin, namun pandangan Yoo Jin justru tak bergeming, dan malah terperangah menyaksikan sikap cuek sahabatnya.

“Kau tidak ikut?” tanya Yoo Jin dengan mulut menganga, lalu sekilas ia teringat dengan isi percakapan di ponsel sahabatnya. Ah, kenapa ia harus bertanya lagi?! Seo Jun-kan mau makan siang bersama pacarnya.

“Aku sudah punya janji lain.”

Yoo Jin menggigit bibir bawahnya, dan menganggukkan kepala sebagai tanda mengerti. Sedetik kemudian, Yoo Jin akhirnya tertawa lebar, serta menepuk kasar bahu Seo Jun.

“Kalau begitu, selamat menikmati makan siangmu,” ucap Yoo Jin berusaha riang, lalu meninggalkan Seo Jun yang masih terpaku pada ponselnya.

Hari ini akan menjadi hari bersejarah dalam hidup Yoo Jin. Inilah, hari pertama baginya, dimana ia akan makan sendiri di kantin tanpa sahabatnya.

*

Yoo Jin merasa kesepian hari ini, sebab sahabatnya tidak seperti sahabat yang ia kenal selama ini. Begitukah yang terjadi, apabila sahabat telah memiliki kekasih? Persahabatan yang tercipta selama 12 tahun mendadak dingin seperti daging beku?

“Seo Jun, kau tahu apa persamaan kata xxx dan xxx?” Yoo Jin menyelipkan sebuah lelucon garing, buat menghilangkan rasa penatnya setelah bekerja keras mengoreksi naskah penulis di komputernya.

“Tidak,” jawab Seo Jun tanpa menoleh, dan tatapannya tetap berfokus pada layar komputernya sendiri.

“Ayolah, masa kau tidak tahu? Itukan pertanyaan yang satu keluarga dengan pertanyaan kemarin!”

“Maaf, aku sedang sibuk, tidak bisa meladenimu bermain sekarang,” balas Seo Jun dingin. Pria itu memang terlihat sangat sibuk sekarang, dimana kesepuluh jarinya mengetik di keyboard dengan sangat cepat bak shinkansen.

Ting! Sebuah pesan tiba-tiba masuk di ponsel Seo Jun. Seo Jun yang tadinya tidak sempat menjawab lelucon garing Yoo Jin, justru ketika pesan dari kekasihnya masuk, Seo Jun langsung menghentikan pekerjaannya, dan segera membalas pesan tersebut.

Kejadian acuh tak acuh yang dirasakan Yoo Jin bukan hanya terulang dua kali saja, namun dalam sehari kejadian dicueki bagaikan sebuah lingkaran setan.

“Seo Jun, mau coba? Teh rasa baru yang baru dipasarkan setengah jam lalu.” Yoo Jin menawarkan teh dalam kemasan botol kepada Seo Jun, tapi sebelumnya, wanita konyol itu sempat meneguk sekali dengan menempelkan bibirnya pada mulut botol.

“Thanks but no. Kau sudah minum dari botol itu,” tolak Seo Jun mentah-mentah.

“Kenapa? Bukannya kita sering berbagi minuman?” tanya Yoo Jin yang pikirannya masih polos, mengingat ia krisis pengetahuan mengenai perbedaan gender.

“Pokoknya mulai hari ini, kita berhenti berbagi minuman,” jawab Seo Jun tetap pada pendiriannya.

Mendengar penolakan tegas dari Seo Jun, kaki Yoo Jin tanpa sadar melangkah mundur. Ia tidak yakin, apalagi percaya dengan apa yang ia dengar.

HAH?! “Seo Jun, apa kau sudah tidak menganggapku lagi?”

**

“Hanya itu?” tanya Seo Jin dengan wajah datar, setelah mendengar curhatan Yoo Jin mengenai apa yang telah menimpa dirinya di kantor tadi.

Yoo Jin yang mengambil giliran pertama untuk mengutarakan masalah dalam benaknya, memandangi bibinya dengan ekspresi dongkol. “Tidak bisakah bibi merespon lebih heboh lagi? Seperti mendukungku, dan memaki Seo Jun demi keponakanmu?”

“Untuk?” jawab Seo Jin yang justru berbalik bertanya. Seo Jin merasa kisah antara Yoo Jin dan Seo Jun seperti kisah anak-anak yang saling cemburu, ditambah ketidakpekaan. Tidak bermanfaat bagi Seo Jin, dalam membantunya menemukan ide buat adegan yang lebih menarik.

“Kau kira aku gila, dan tidak normal sepertimu?”

Ho Rang yang juga mendengar curhatan Yoo Jin sejak awal, tidak mengubah ekspresinya yang dingin secuil-pun. Sedangkan, Hye Ri justru terlihat berbinar mendengar curhatan Yoo Jin. Mereka berempat sudah tinggal bersama sejak lama, bahkan mereka juga sudah mengenal sosok Seo Jun, sahabat Yoo Jin sejak dari kecil.

“Yoo Jin, apa kau tidak bosan, berperan sebagai sahabat melulu?” tanya Ho Rang tanpa basa-basi, membuat alis Yoo Jin berkerut. “Aku tahu, kau pasti suka Seo Jun.”

“Suka? Tidak tidak. Mana mungkin. Kalau-pun suka, aku pasti akan langsung mengutarakannya! Kalian tahu-kan, aku ini orangnya seperti apa?”

“Seperti pengibul?” tebak Seo Jin sembari cekikikan.

“Salah! Aku ini bukan pengibul! Tapi, spon-tan!”

“Spontan dari desa mana?” canda Seo Jin lagi. Betul-betul deh bibi satu ini, membuat Yoo Jin ingin mencekik bibi kandungnya dengan kedua tangannya.

Yoo Jin memutar bola matanya. “Aku sedang tidak bercanda, bibi.”

“Baiklah, baiklah. Kita mulai serius membahas apapun sekarang,” putus Seo Jin dibuat bernada tegas, walaupun ia sulit mengontrol senyum jahilnya. “Masing-masing dari kita, satu-persatu melemparkan pertanyaan. Yoo Jin atau siapapun yang curhat selanjutnya, harus menjawab dengan serius. Lebih bagus lagi, berikan masukan. Mengerti?”

Ketiga-nya kompak menganggukkan kepala, setuju dengan peraturan yang dibuat Seo Jin. Dimulai dari pertanyaan pertama, oleh Hye Ri untuk Yoo Jin.

“Bagaikan burung hantu yang melihat kelinci bersama rembulan. Apakah kau tidak cemburu mengetahui Seo Jun sudah memiliki kekasih?”

“Tidak.” Yoo Jin menggelengkan kepalanya.

“Lalu, kau kesal kalau Seo Jun lebih merespon pacarnya?” sambung Ho Rang.

“Aku… jujur saja, aku… kesal,” jawab Yoo Jin pasrah. “Aku seperti tidak dianggap olehnya.”

Mendengar jawaban Yoo Jin, membuat ketiga orang di hadapannya membatin serupa. Sudah jelas.

Kini giliran Seo Jin untuk bertanya. “Menurutmu, yang mana lebih penting? Pacar atau sahabat?”

“Sahabat lah!” seru Yoo Jin bersemangat. “Kekasih boleh berganti, tapi sahabat selalu menemani. Benar?!”

“Jangan konyol.” balas Ho Rang telak, lalu menarik ke atas salah satu sudut bibirnya. “Boleh kutampar wajah bodohmu? Memangnya kau akan hidup terus bersama Seo Jun dengan status ‘sahabat’?”

“Seo Jun sudah memiliki kekasih, sedangkan kau tidak. Kau kesal karena ia lebih memilih kekasihnya, yang di masa depan akan berpeluang untuk hidup seatap dengan Seo Jun, dilengkapi dengan status ‘pasangan hidup’. Jadi, kau mau bagaimana? Menghancurkan rumah tangga mereka, hah?!” sambung Ho Rang ditambah sedikit emosi.

Yoo Jin mulai dibuat kebingungan. Faktanya, ia masih level awam, apabila ditanya seputar persoalan asmara. “Aku…”

“Seo Jun adalah pria normal. Tentunya ia mencari seorang wanita yang bisa memenuhi kebutuhannya. Kurasa keponakanku yang tak normal ini, tidak akan paham dengan maksudku.”

“Ke– kebutuhan? Maksud bibi… ‘i– itu’ ditambah dengan “itu”, hasilnya “itu” begitu?” tanya Yoo Jin di warnai dengan mimiknya yang terkesan jijik.

Plok! Plok! Plok! Seo Jin bertepuk tangan sambil tertawa terbahak-bahak. “Ternyata ilmu biologimu bagus juga. Hahaha! Pada dasarnya, hubungan antara lawan jenis memang begitu alurnya. Tapi yahhh… karena kau adalah makhluk luar angkasa… yahh… mungkin itu bisa menjadi pengecualian.”

Hye Ri yang duduk di sebelah Yoo Jin mengulurkan tangan, dan memegang kepala wanita di sebelahnya, yang sudah dianggapnya sebagaisaudara sendiri. Hye Ri yang sejak tadi lebih memilih untuk menyaksikan, akhirnya membuka lagi suaranya dan memberi sebuah masukan.

“Yoo Jin, kurasa lebih baik kalau kau mencari pasanganmu sendiri, dan mulai menjaga jarak dari kehidupan asmara Seo Jun. Boleh saja kitabersahabat dekat dengan pria, asalkan kita sadar dengan batasan yang kita miliki. Kau tahu-kan, pikiran setiap orang berbeda-beda, dan tidak se-simple pikiranmu. Aku tidak ingin, orang-orang mengira kalau kau ingin merebut kekasih orang lain, ataupun dianggap sebagai pegusik. Kuharap kau mengerti maksudku.”

***

2 votes, average: 1.00 out of 1 (2 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

1 Komentar

  1. Thanks